Kamis, 25 Desember 2014

KOMERSIALISASI SUMBER DAYA DAN BENEFIT SHARING

KOMERSIALISASI SUMBER DAYA DAN BENEFIT SHARING

Mekanisme Benefit Sharing
Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah perjanjian multilateral untuk mengikat para pihak (negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan masalah-masalah global khususnya keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia selanjutnya.
Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi Stockholm). Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima dokumen, yakni Deklarasi Rio; Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim; Konvensi Keanekaragaman Hayati; Prinsip-Prinsip Pengelolan Hutan; dan Agenda 21.
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber – sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan d luar batas yuridiksi nasional.
Kesadaran mengenai nilai penting sumber daya genetik bagi kemanusiaan sudah dikenal sejak jaman pra sejarah. Sejak manusia memasuki tahapan bercocok tanam dan beternak, kegiatan pemuliaan jenis tanaman dan ternak sudah dimulai. Pemilihan jenis dan persilangan jenis yang semula dilakukan secara empiris, sebenarnya merupakan titik awal dari pengenalan sifat-sifat unggul “preferable” dan sifat-sifat “un-needed” yang sebenarnya merupakan ekspresi fisiologis dari variabilitas genetis diantara tanaman dan ternak budidaya. Baru kemudian pada abad 18 sampai awal abad 19, pada era Mendel, mulai dikenal pengetahuan hibridisasi yang merupakan titik awal upaya manusia untuk menseleksi ekspresi genetis dari variabilitas gen didalam suatu tumbuhan secara sistematis. Mulai saat itulah nilai sumber daya genetik secara empiris dikenal.
Dengan berkembangnya bioteknologi di bidang pertanian dan farmasi, maka nilai sumber daya genetik ini semakin meningkat. Pada awalnya nilai sumber daya genetik ini terikat dengan kesatuan (entity) kepemilikan fisik varietas suatu komoditas tanaman dan/atau ternak. Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai ilmu hayati (biologi) dan semua cabang-cabangnya (termasuk ilmu genetika) maka mulai dikenal nilai-nilai intrinsik suatu mahluk hidup yang dikenal dengan variabilitas gen. Perkembangan ilmu pengetahuan biologi tersebut telah meningkatkan potensi pemanfaatan sumber daya genetik, dan dengan demikian juga meningkatkan nilai sumber daya tersebut. Sejalan dengan perkembangan industri pertanian dan farmasi yang memanfaatkan bioteknologi serta sumber daya genetik ini, maka eksplorasi sumber-sumber daya genetik baru juga meningkat.
Bioteknologi
Istilah bioteknologi pertama kali dikemukakan oleh Karl Ereky, seorang insinyur Hongaria pada tahun 1917 untuk mendeskripsikan produksi babi dalam skala besar dengan menggunakan bit gula sebagai sumber pakan. Pada perkembangannya sampai pada tahun 1970, bioteknologi selalu berasosiasi dengan rekayasa biokimia (biochemical engineering). Definisi bioteknologi apabila dapat dilihat dari akar katanya berasal dari “bio” dan “teknologi”, maka kalau digabung pengertiannya adalah penggunaan organisme atau sistem hidup untuk memecahkan suatu masalah atau untuk menghasilkan produk yang berguna. Pada tahun 1981, Federasi Bioteknologi Eropa mendefinisikan bioteknologi sebagai berikut, bioteknologi adalah suatu aplikasi terpadu biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa kimia dengan tujuan untuk mendapatkan aplikasi teknologi dengan kapasitas biakan mikroba, sel, atau jaringan di bidang industri, kesehatan, dan pertanian. Definisi bioteknologi yang lebih luas dinyatakan oleh Bull, et al, (1982), yaitu penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan rekayasa pengolahan bahan oleh agen biologi seperti mikroorganisme, sel tumbuhan, sel hewan, manusia, dan enzim untuk menghasilkan barang dan jasa. (Goenadi & Isroi, 2003). Bioteknologi merupakan aktivitas terpadu dari berbagai disiplin ilmu yang relevan (biokimia, mikrobiologi, rekayasa, dan lain-lain) dalam pemanfaatan agen hayati untuk menghasilkan barang dan/atau jasa untuk kesejahteraan umat manusia (Amar et al, 2007).
Pada masa lalu gen ditransfer melalui persilangan biasa atau cara konvensional pada tanaman sekerabat. Misalkan padi atau jagung varietas yang satu dengan varietas padi atau jagung varietas yang lain. Perkembangan teknologi pertanian modern melalui bioteknologi dapat memindahkan gen dari spesies apa saja ke spesies lain melalui berbagai cara, antara lain dengan pemanfaatan vektor pemindah gen. Teknik semacam ini telah banyak dikembangkan untuk tanaman budidaya. Produk rekayasa genetika jagung, kedelai dan kapas telah dihasilkan dan dijual oleh perusahaan agrokimia multinasional seperti Novartis, Monsanto, Zeneca dan lain-lain. Melalui bioteknologi diharapkan muncul tanaman tahan terhadap hama dan penyakit, dapat tumbuh di lahan yang mempunyai kendala cekaman fisik (tanah garaman, tanah masam, cekaman kekeringan dan lain-lain) sesuai dengan harapan peneliti/pemulia tanaman. Bioteknologi manusia mampu melewati batasan biologi, baik itu kelompok hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme dalam memasukkan sifat yang diinginkan.
Bioteknologi dan industri bioteknologi dalam dasawarsa terakhir berkembang sangat pesat. Tercatat sampai dengan tahun 1997 tidak kurang dari 124 “organisme baru” terutama tanaman-tanaman transgenik (tanaman yang telah mengalami rekayasa genetik) telah dimintakan izin dan dipatenkan untuk dibudidayakan dan dipasarkan secara global. Ratusan ribu produk hayati termasuk di dalamnya makhluk tanaman, hewan dan mikroba telah dipaten oleh negara-negara maju, termasuk Amerika-Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan Jepang.
Pengembangan bioteknologi melalui rekayasa genetika berlandaskan pada keanekaragaman hayati atau dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati merupakan aset pengembangan bioteknologi. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, diikuti oleh Brazil, Zaire, dan negara-negara berkembang lainnya. Dapat dipastikan bahwa negara-negara yang maju teknologinya adalah negara-negara miskin keanekaragaman hayati, sedang negara yang kaya keanekaragaman hayatinya terbatas kemampuan teknologinya. Diperkirakan di dunia ini terdapat 5 – 30 juta spesies (jenis makhluk hidup), dan hanya sekitar 1,4 juta yang telah terindentifikasi secara ilmiah.
Penerapan dan Komersialisasi Bioteknologi
Penerapan bioteknologi dalam skala industri secara umum dibagi dalam berbagai bidang, yaitu perawatan kesehatan (medis), produksi tanaman dan pertanian, industri non pangan menggunakan tanaman dan produk lainnya (misalnya plastik biodegradable, minyak sayur, biofuel), lingkungan serta kelautan dan perikanan (Amar et al, 2007).
Sebagai contoh, satu aplikasi bioteknologi adalah penggunaan organisme yang diarahkan untuk pembuatan produk organik (contoh meliputi produk bir dan susu). Contoh lain adalah menggunakan bakteri alami oleh industri pertambangan (bioleaching). Bioteknologi juga digunakan untuk mendaur ulang, mengolah limbah, membersihkan lokasi yang terkontaminasi oleh kegiatan industri (bioremediasi), dan juga untuk memproduksi senjata biologi.
Produk rekayasa genetika ternyata semakin meluas. Di Amerika Serikat areal pertanaman yang menggunakan varietas rekayasa genetika telah meningkat dari enam juta are pada tahun 1996 menjadi 30 juta are pada tahun 1997. Pada tahun-tahun mendatang sekitar 40 persen tanaman kedelai di Amerika adalah kedelai yang dimodifikasi secara genetik. Bahkan beberapa perusahaan besar telah mempunyai berbagai varietas rekayas genetika yang telah memperoleh hak paten. Perusahaan multinasional bioteknologi Monsanto telah mengembangkan benih Terminator, Novartis Swiss dengan Traitor dan Zeneca dengan Verminator yang intinya sama, benih tersebut akan membunuh turunannya, kecuali diberi pemicu bahan kimia yang diproduksi oleh perusahaan itu sendiri. Benih ini telah disusupi dengan gen “suicide seed/benih bunuh diri “sehingga petani tidak akan dapat lagi menyisihkan hasil panennya untuk dijadikan benih, karena turunan pertamanya tidak dapat tumbuh. Setiap kali menanam, petani harus membeli benih dari perusahaan/agen, sehingga ketergantungan petani terhadap benih tersebut makin besar.
Komersialisasi merupakan suatu upaya pengembangan dan usaha pemasaran suatu produk dari hasil proses dan penerapan proses ini dalam kegiatan produksi. Pemasaran produk bioteknologi di luar negeri telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, baik dengan pelabelan khusus maupun belum dilabel. Tanaman hasil produk bioteknologi yang paling banyak ditanam adalah jagung, kedele dan kapas. Amerika Serikat adalah negara paling banyak menanam produk bioteknologi.
Data dari USDA menyebutkan bahwa sejak 1976 – 2000 jumlah paten produk bioteknologi telah mencapai 11.073 buah. Sepuluh perusahaan besar yang menerima paten terbanyak dalam bidang bioteknologi di AS adalah Monsanto Co., Inc (674 paten), Du Pont, E.I. De Nemours and Co. (565 paten), Pioner Hi-Bred International, Inc. (449 paten), USDA (315 paten), Sygenta (284 paten), Novartis AG (230 paten), University of California (221 paten), BASF AG (217 paten), Dow Chemical Co. (214 paten), dan Hoechast Japan Ltd. (207 paten. Sebagian dari produk-produk bioteknologi tersebut juga sudah beredar di Indonesia (Goenadi & Isroi, 2003).
Perkembangan industri di sektor bioteknologi tidak selalu berjalan dengan mulus, masalah-masalah utama yang dihadapi terutama adalah menyangkut paten, access and benefit sharing (ABS) dan keamanan hayati (biosafety).
Masalah Paten dan ABS
Paten merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap Intelectual Property Rights (IPR), Hak atas kekayaan Intelektual (HAKI), seperti hak cipta atau merek dagang sebagai bentuk insentif dan imbalan terhadap suatu penemuan. Landasan dari paten ini adalah untuk mendorong penemuan-penemuan komersial, sementara pengetahuan yang melatar-belakangi penemuan tersebut disebarkan kepada masyarakat. Pengetahuan tersebut bebas bagi setiap orang untuk menggunakannya dan memanfaatkannya secara komersial, tetapi hasil penemuan tetap rahasia, dan ada insentif ekonomi terhadap hasil temuannya.
Paten dan HaKI lainnya menyangkut bioteknologi sudah lama menjadi perdebatan. Pokok permasalahannya adalah bahwa paten terhadap organisme, gen dan/atau sumber daya genetik adalah tidak dapat diterima, dengan alasan:
1.      Para petani pada umumnya menyimpan benih untuk masa tanam yang akan datang.
2.      Perusahaan multinasional sering melakukan klaim hak atas kakayaan intelektual terhadap gen atau tehadap rangkaian dna tanpa melakukan invensi yang sesungguhnya (biopiracy).
Sumberdaya genetik (SDG atau GR), sebagai sesuatu yang ada di alam, tidak seharusnya diberi perlindungan paten. Demikian pula, pengetahuan tradisional (PT atau TK) juga tidak dapat dipatenkan. Namun keduanya perlu dilindungi dari penjarahan, dan masyarakat adat terutama perlu mendapatkan perlindungan atas PT yang mereka kembangkan.
Mereka yang sepaham dengan liberalisme paten berpendapat bahwa invensi apapun, termasuk yang tersambung dengan SDG dan PT selalu dapat dimintakan paten, asalkan memenuhi semua persyaratan standar berupa: novelty (kebaruan), non-obvious (bersifat inventif), and useful (kebergunaan). Persyaratan tersebut bersifat universal, seperti misalnya tercantum dalam perjanjian internasional TRIPs (Hak Kekayaan Intelektual terkait Perdagangan), di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Doktrin utamanya adalah kepatuhan terhadap kesepakatan. Prinsip dasarnya adalah Pact Sunt Servanda (janji harus ditepati).
Pendapat yang kedua ada di posisi berseberangan. Pendapat ini mendasarkan diri pada persyaratan novelty, namun dengan penafsiran yang terlampau luas. Pengikut pendapat ini menyatakan bahwa invensi yang tersambung dengan SDG dan PT tidak dapat dipatenkan, karena tidak memenuhi syarat kebaruan (novelty). Acuan utamanya adalah kasus aplikasi atau pemberian paten atas tanaman nimba, kunyit dan beras basmati. Pada kasus-kasus ini paten yang sudah diterbitkan kemudian dibatalkan karena syarat kebaruan tidak terpenuhi.
Pendapat yang ketiga lebih moderat. Menurut pengikut pendapat ini, invensi yang tersambung dengan SDG dan PT tetap dapat dipatenkan, asalkan ketika mengajukan permohonan paten atas invensi tersebut dinyatakan secara transparan bahwa invensi tersebut terkait dengan SDG dan PT. Pendapat ini mengacu kepada keterbukaan (disclosure) sistem perlindungan paten. Pengikut pendapat ini menyadari bahwa hampir tidak mungkin ada invensi yang benar-benar baru (novel). Pada umumnya invensi yang patentable (bisa diberikan paten) merupakan hasil pengembangan dari invensi-invensi sebelumnya, atau sekurang-kurangnya hasil perkembangan dari teknologi yang sudah ada sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya genetika tertentu. Banyak riset di bidang farmasi yang melibatkan pengetahuan tradisional sebagai basis awalnya.
Saat ini di forum internasional tengah berkembang wacana keterbukaan sumber invensi (disclosure requirements). Wacana ini berkembang sejalan dengan terungkapnya kasus-kasus paten obat-obatan yang terkait dengan SDG dan PT. Wacana itu berkembang di dalam forum resmi seperti pada Convention on Biological Diversity (CBD) dan WTO.
Tuntutan disclosure requirements muncul ketika industri farmasi dari negara maju memperoleh manfaat dari penggunaan SDG dan PT dari negara berkembang tanpa adanya pembagian manfaat yang adil (equitable benefit sharing). Sementara itu di dalam sistem perlindungan paten memang belum ada ketentuan tentang keharusan untuk adanya keterbukaan informasi tentang sumber invensi. Itu sebabnya negara-negara maju yang diuntungkan dengan sistem paten yang berlaku sekarang ini cenderung mempertahankan kondisi yang ada. Sebaliknya, negara berkembang yang merasa diperlakukan tidak adil menginginkan agar aturan hukum paten yang ada mencerminkan rasa keadilan tersebut dengan memasukkan prinsip keterbukaan informasi tentang sumber invensi. Adanya keterbukaan informasi sumber ini akan berdampak bahwa negara-negara berkembang mempunyai landasan yang kuat untuk menuntut adanya pembagian yang adil atas pemanfaatan SDG dan PT oleh negara maju.
Sesungguhnya, wacana tentang keterbukaan informasi sumber ini lebih disebabkan karena ada perbedaan kepentingan dalam konteks paten atas obat-obatan dan tanaman pangan. Lebih tepatnya menyangkut kepentingan atas access and benefit sharing. Negara maju berkepentingan atas akses yang terbuka terhadap GR dan TK. Sebaliknya, negara berkembang berkepentingan untuk adanya benefit sharing atas pemanfaatan SDG dan PT. Boleh dikatakan pergumulan tentang disclosure requirements berkisar pada persoalan access and benefit sharing ini.
Negara-negara maju mencoba bertahan pada aspek hukum berupa kesepakatan internasional yang telah disepakati dalam forum TRIPs. Mereka menuntut agar negara-negara berkembang comply (patuh) terhadap TRIPs dengan memberikan perlindungan paten dengan standard internasional. Sedangkan Negara-negara berkembang menginginkan sistem yang lebih adil yang lebih dekat pada persoalan etika moral. Namun pada kenyataannya etika moral seringkali tidak efektif untuk melahirkan kesadaran manusia agar berlaku adil. Itu sebabnya negara-negara berkembang menuntut agar norma etika moral itu diperkuat dalam bentuk norma hukum. Tuntutan itulah yang mengemuka dalam perdebatan masuknya disclosure requirements dalam proses permohonan paten.
Masalah HAKI/Paten merupakan masalah nasional dan internasional yang terus berkembang dan menimbulkan pro-kontra, dan dapat mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara, terutama yang berkaitan dengan globalisasi perdagangan dan masalah pemanfaatan kekayaan keanekaragaman hayati dan kehidupan dunia iptek. Ini permasalahan yang sangat kompleks terutama karena adanya dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar.
Di tingkat nasional, masalah akses terhadap sumberdaya telah dilontarkan terutama oleh kalangan LSM dalam kaitannya dengan kesepakatan Internasional yaitu Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan World Trade Organization (WTO).
Perkembangan terakhir dalam masalah IPR adalah bahwa bahan informasi genetik (DNA) yang merupakan bahan hakiki untuk menunjang kemampuan hidup mulai dipatenkan. Sampai dengan tahun 1995, kurang lebih ada 1.200 fragmen DNA telah dipatenkan. Proses pengajuan paten bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Namun proses tersebut sangat ditentukan oleh penyusunan legal text dalam mengungkap “kebaruan” proses atau produk yang dimintakan paten-tanpa memberikan peluang bahwa “kebaruan” dapat disadap/dicuri oleh fihak lain. Di samping itu, kesepakatan dalam CBD dicantumkan pula Access to Genetic Resources di mana saja oleh siapa saja. Hal ini sangat memungkinkan peluang untuk menang dalam berlomba memanfaatkan keanekaragaman hayati yang merupakan aset pengembangan bioteknologi melalui rekayasa genetik oleh negara-negara yang maju teknologinya ketimbang negara-negara berkembang yang umumnya lebih kaya keanekaragaman hayati.
Tercapainya kesepakatan dan diadopsinya Protokol Akses dan Pembagian Keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional (Protocol on Access and Benefit Sharing of Genetic Resources and Associated Traditional Knowledge), sebagai instrumen penting yang akan memberikan kepastian hukum atas pemanfaatan sumber daya genetik secara global dan menghentikan pencurian sumber daya genetik (biopiracy). Selain itu juga target yang tercapai dan terukur serta fokus pada upaya penurunan laju kemerosotan keanekaragaman hayati pada tataran nasional dan global.
Kerangka Global Implementasi ABS
Sebelum CBD lahir, penguasaan perusahaan besar atas kekayaan sumber daya hayati menghasilkan keuntungan berlimpah. Ini karena umumnya kekayaan sumber daya hayati tersebar di negara berkembang yang belum terjamah industrialisasi.
Negara maju beranggapan, kekayaan sumber daya hayati adalah warisan peradaban manusia (the common heritage of mankind). Semacam konsep res communis di hukum Romawi yang merujuk ke wilayah bukan milik siapa-siapa (belong to no one) yang bisa dimanfaatkan umum. Maka, perusahaan besar yang dapat mengembangkan sumber hayati menjadi produk teknologi tinggi seperti obat dan kosmetik bisa menjual produknya kembali ke negara asal sumber hayati dengan harga berlipat ganda.
CBD adalah instrumen hukum internasional pertama yang merujuk pada konsep kedaulatan negara pada kekayaan sumber daya hayati, sembari mengatur konsep prior inform consent dan berbagi keuntungan secara adil dan setara sebagai langkah kelanjutannya. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) kemudian memiliki traktat mengenai kekayaan sumber daya hayati dari tanaman. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2007 berusaha merumuskan konsep akses dan berbagi keuntungan secara adil dan setara dalam kerangka Pandemic Influenza Preparedness.
Pada dasarnya harus ada arah dan kebijakan yang harus diambil oleh masing-masing negara dalam implementasi ABS di tingkat lokal terhadap keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya dan berbagi manfaat dari penggunaan tersebut, tiga proses utama yang mempengaruhi implementasi di tingkat negara adalah Perjanjian Internasional mengenai Convention on Biological Diversity (CBD), the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) and the Inter-Governmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC) of the World Intellectual Property Office (WIPO) yang berhubungan dengan kepemilikan dan hak milik isu-isu yang berkaitan dengan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional intelektual.
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversiy, CBD) merupakan konvensi internasional yang dicetuskan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini mempunyai 3 tujuan utama:
1.        Konservasi keanekaragaman hayati,
2.        Kelestarian penggunaan dari komponen-komponen sumber daya hayati tersebut,
3.        Adanya kerja sama yang adil dan saling menguntungkan dari sumber daya genetik yang ada.
Dengan kata lain, tujuan dari konvensi ini adalah untuk membangun strategi-strategi nasional untuk konservasi dan penjagaan keberlangsungan dari keanekaragaman hayati. Ada beberapa hal dalam CBD yang menjadi pokok dalam perjanjian bilateral yang dapat di tuangkan dalam MoU kedua negara. Seperti yang telah tercantum pada CBD yaitu berkenaan dengan pasal-pasal sebagai berikut:
ü  Pasal 15 tentang Akses ke Sumber Daya Genetik
Negara yang akan mengambil sumber daya genetik dari negara lain harus mengakui negara asal dari sumber daya genetik tersebut. Selain itu, perjanjian yang dibuat harus saling menguntungkan dan disepakati semua pihak yang terlibat (bilateral maupun multilateral). Kerja sama saling menguntungkan tersebut mencakup:
1.      Penyediaan fasilitas sarana dan prasarana untuk kemudahan akses ke sumber daya genetik yang telah disepakati.
2.      Akses tersebut dibatasi hanya pada sumber daya genetik yang telah disepakati saja.
3.      Semua pihak berusaha untuk membangun dan melaksanakan penelitian mengenai sumber daya genetik tersebut.
ü  Pasal 16 tentang Akses dan Transfer Teknologi
Masing-masing pihak yang terkait harus menyadari bahwa teknologi itu mencakup bioteknologi dan akses serta transfer teknologi diantara pihak yang terlibat merupakan elemen yang penting untuk pencapaian tujuan sesuai dengan CBD tanpa merusak lingkungan dan kelestarian dari sumber daya genetik tersebut. Akses dan transfer teknologi yang diberikan kepada negara asal sumber daya genetik tersebut harus fair dan menghormati hak-hak kekayaan intelektual. Pihak-pihak yang terlibat sebaiknya menempuh jalur hukum, administratif, maupun kebijakan yang sesuai sehingga negara penyedia sumber daya mendapatkan akses dan transfer teknologi dengan kesepakatan bersama, termasuk terknologi-teknologi yang dipatenkan atau hak kekayaan intelektual lainnya.
ü  Pasal 17 tentang Pertukaran informasi
Pihak-pihak yang memanfaatkan sumber daya harus memfasilitasi pertukaran informasi dari berbagai sumber yang tersedia yang relevan dengan konservasi dan kelangsungan penggunaan dari keanekaragaman hayati yang merupakan kebutuhan dari negara berkembang yang merupakan penyedia sumber daya genetik. Informasi-informasi yang diberikan juga sebaiknya mencakup hasil-hasil teknis dari penelitian, keilmuan, dan sosio-ekonomi; pengadaan pelatihan-pelatihan dan program survey; serta tukar informasi seputar ilmu pengetahuan yang terkait.
ü  Pasal 18 tentang Kerja sama Teknik dan Keilmuan
Pihak-pihak yang terlibat kontrak harus mempromosikan kerja sama teknik dan keilmuan internasional terkait dengan konservasi dan keberlangsungan penggunaan dari keanekaragaman hayati, jika perlu, melalui institusi-institusi internasional dan nasional yang sesuai. Kerja sama tersebut khususnya ditekankan pada pembangunan dan penguatan kapabilitas nasional melalui pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan institusi. Pihak yang memanfaatkan sumber daya (negara maju) harus mendorong pemanfaatan teknologi, baik teknologi tradisional maupun modern untuk mencapai tujuan konvensi. Untuk tujuan ini, pihak negara maju tersebut diharapkan bekerja sama dalam pengadaan pelatihan-pelatihan SDM dan pertukaran ahli.
ü  Pasal 19 tentang Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan
Pihak-pihak yang terlibat kontrak harus menempuh jalur hukum, administratif, maupun kebijakan lain yang sesuasi untuk mendukung partisipasi yang efektif dalam aktivitas penelitian di bidang bioteknologi oleh pihak-pihak tersebut, terutama negara yang berkembang yang menyediakan sumber daya genetik. Semua pihak harus mempertimbangkan kebutuhan akan protokol untuk menetapkan prosedur yang sesuai terkait dengan transfer yang aman, penanganan dan penggunaan organisme hidup yang telah dimodifikasi (living modified organism) yang dihasilkan dari rekayasa bioteknologi yang mungkin memiliki efek samping pada konservasi dan keberlangsungan penggunaan keanekaragaman hayati.
ü  Pasal 20 tentang Sumber Dana
Setiap pihak yang terlibat, sesuai dengan kapabilitasnya, harus memberikan dukungan finansial dan insentif, terkait dengan kegiatan yang telah disepakati bersama untuk pencapaian tujuan konvensi. Pihak dari negara maju harus menyediakan sumber dana baru dan tambahan sehingga memungkinkan negara berkembang untuk memenuhi biaya-biaya tambahan yang telah disepakati bersama. Pihak negara maju harus memenuhi semua kebutuhan dana dan transfer teknologi yang diperlukan oleh negara berkembang.
Protokol Nagoya
Pertemuan Negara-negara Pihak (COP) Konvensi Sumber Daya Hayati Ke-10 di Nagoya menghasilkan tiga kesepakatan utama. Kesepakatan dari pertemuan yang berakhir pada 30 Oktober 2010 itu meliputi Protokol Nagoya, Revisi Rencana Strategis Pencapaian Tujuan Konvensi Sumber Daya Hayati (CBD) 2011-2020 dan Rencana Pelaksanaan Strategi Mobilisasi Dana.
Selama ini gagasan CBD sulit diimplementasikan karena petunjuk pelaksanaannya berupa protokol belum ada. Maka, kelahiran Protokol Nagoya, yang lengkapnya adalah The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization, sangat penting secara substantif. Protokol Nagoya berisi aturan pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati. Ini merupakan kesepakatan kedua setelah Protokol Cartagena mengenai keamanan hayati (biosafety), yang mulai berlaku 2003.
Protokol Nagoya merumuskan aturan pelaksanaan CBD terkait pemberian akses dan pembagian keuntungannya. Penyedia kekayaan sumber daya hayati bekerja sama dengan pengguna dalam mekanisme pembagian keuntungan yang adil dan setara. Agar Protokol Nagoya dapat berlaku sah sesuai hukum internasional, dibutuhkan ratifikasi dari 50 negara anggota COP CBD. Naskah asli Protokol Nagoya akan mulai terbuka untuk ditandatangani 2 Februari 2011 sampai 1 Februari 2012 di Markas Besar PBB, New York.
Protokol Nagoya merumuskan mekanisme pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati yang berasal dari tanaman, hewan, dan mikrobiologi untuk produk industri, kosmetik, makanan, obat- obatan, dan keperluan lain. Intinya, terbuka akses pada sumber daya hayati untuk pemanfaatan, tetapi juga dalam semangat yang sama mengatur bagaimana manfaat atau keuntungan juga dapat dinikmati oleh negara asal sumber daya hayati itu.
Kesepakatan diharapkan dapat membuat transparan pergerakan lalu lintas sumber-sumber daya hayati sehingga pembajakan hayati (biopiracy) dapat ditekan seminimal mungkin. Selama ini biopiracy kerap terjadi saat perusahaan multinasional diam-diam memanfaatkan pengetahuan tradisional ataupun kekayaan sumber daya hayati negara berkembang, dan keuntungannya juga sama sekali tidak dibagi.
Pembahasan mengenai upaya mendeteksi biopiracy memakan waktu lama. Negara berkembang ingin aturan monitoring yang bersifat mandatory dan mencakup informasi rinci dan lengkap dari riset sampai pengembangan produk. Negara maju menginginkan aturan lebih longgar dan bersifat sukarela.
Kasus-Kasus Pembelajaran
Kasus Hoodia gordonii di Afrika Selatan
Suku-suku San Kalahari merupakan masyarakat tertua di Afrika Selatan. Mereka telah memiliki pengetahuan tradisional tentang penggunaan Hoodia gordonii, pohon yang ditemukan di gurun Kalahari, yang secara historis dikonsumsi oleh suku San Kalahari untuk menahan rasa lapar apabila melakukan perjalanan jauh. Masyarakat San awalnya tidak menyadari bahwa Dewan Penelitian Ilmiah dan Industri Afrika Selatan (South African Council for Scientific and Industrial Research / CSIR), sebuah lembaga pemerintah Afrika Selatan, telah diberikan hak paten pada P57, obat penekan nafsu makan yang berasal dari ekstrak Hoodia lezat melalui penelitian dilakukan oleh CSIR, dan memiliki rencana untuk mengkomersialisasikan produk tersebut tanpa sepengetahuan suku San Kalahari. CSIR kemudian menegosiasikan lisensi hak eksklusif komersial tersebut kepada perusahaan farmasi Phytopharm, untuk pengembangan produk Hoodia, yang kemudian memberikan izin kepada perusahaan farmasi Pfizer dan ke perusahaan makanan multinasional Unilever.
Dengan keterlibatan LSM The Working Group on Indigenous Minorities in Southern Africa (WIMSA), masyarakat San melakukan negosias dengan CSIR untuk menyusun perjanjian pembagian keuntungan dari royalti yang berasal dari penjualan produk yang mengandung paten P57.
Masalah utama dalam perundingan tersebut adalah kurangnya kerangka hukum di Afrika Selatan untuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional. Dalam kasus Hoodia sulit untuk menegaskan klaim orang-orang San mengenai paten P57 dan komersialisasi produk Hoodia di masa depan karena kurangnya kerangka peraturan yang jelas yang menetapkan hak-hak suku San Kalahari.
Akhirnya perjanjian dalam bentuk Nota Kesepahaman dicapai antara CSIR dan Dewan San Kalahari Afrika Selatan. Perjanjian ini dianggap sebagai langkah maju yang signifikan untuk menegosiasikan kesepakatan pembagian keuntungan dengan Dewan San Kalahari Afrika Selatan sebagai pengakuan atas hak-hak kolektif suku San, termasuk mendapatkan manfaat moneter atas eksploitasi komersial terhadap paten P57. Perundingan tentang syarat-syarat perjanjian antara CSIR dan Dewan San Kalahari Afrika Selatan berlanjut hingga perjanjian pembagian keuntungan yang ditandatangani pada tanggal 24 Maret 2003. Perjanjian ditentukan persentase jumlah pembayaran, termasuk pembayaran royaliti sejumlah 8%.
Kasus Golden Rice
Golden Rice adalah varietas padi yang telah diperkaya dengan betacarotene, untuk mengatasi defisiensi Vitamin A. Penelitian dasar dilakukan di Swiss public research institutes ETH Zurich & University of Freiburg. Perusahaan Zeneca (yang kemudian berubah nama menjadi Syngenta seletah merger dengan Novartis Agribusiness) mendapatkan hak penelitian dasar tersbut, kemudian dipadukan dengan penelitian perusahaan tersebut, didapatkan Golden Rice yang lebih baik. Pada saat pengurusan paten, diketahui sampai didapatnya Golden Rice ternyata melibatkan 70 proses dan material yang berbeda yang berasal dari 32 perusahaan dan universitas baik swasta maupun pemerintahan. Sygenta kemudian menyerahkan pengembangan Golden Rice kepadaInternational Rice Research Institute (IRRI) untuk kepentingan kemanusiaan.
Kerjasama Pemerintah Nigeria dengan Shaman Pharmaceutical Inc.
Pada tahun 1990 Shaman Pharmaceuticals Inc. menjalin kerjasama lembaga penelitian ilmiah Nigeria. Manfaat langsung dan jangka menengah yang didapat oleh pemerintah Nigeria dari ekspedisi tersebut berupa program pelatihan tentang kesehatan masyarakat, botani, konservasi dan etnobotani, dukungan untuk cadangan tanaman obat negara, dukungan pendidikan; pasokan koleksi botani untuk herbarium, peralatan laboratorium untuk penelitian ilmiah dan dukungan bagi para ilmuwan Nigeria untuk penerapan teknik analisis modern. Kemudian didirikan pula lembaga bernama Healing Forest Conservancy sebagai alat pembagian keuntungan. Uang sejumlah US $ 2.000 diberikan oleh Shaman Pharmaceuticals Inc. pada tahun 1994 untuk komunitas dan organisasi penyembuh tradisional, untuk hutan konservasi tumbuhan obat berbasis masyarakat.
Pada awal tahun 1999 Shaman Pharmaceutical mengambil alih salah satu penemuan melalui proses regulasi Food and Drug Administration, waktu masa depan dan biaya untuk uji klinis tambahan terbukti mahal. Shaman Pharmaceutical memanfaatkan penelitian dan pengembangan perusahaan dengan meluncurkan suplemen makanan botani yang pertama. Produk ini merupakan ekstrak dari getah sangre de Drago, pohon Croton lechleri, yang bermanfaat untuk mencegah kehilangan cairan dan merangsang pembentukan tinja yang normal pada sindrom usus bowel.
Kasus Suku Kani di India
Suku Kani merupakan salah satu suku asli di India yang memakan buah Trichophus zeylanicus, yang membuat mereka tetap gesit dan enerjik dalam perjalanan. Tropical Botanic Garden and Research Institute (TBGRI) kemudian melakukan penelitian terhadap kandungan tanaman tersebut dan menemukan bahwa dalam buahnya terdapat zat anti kelelahan, daunnya mengandung berbagai glycolipids dan beberapa non-steroid lainnya senyawa dengan anti-stres dan anti-hepatoxic. Tim TBGRI kemudian mengembangkan formulasi polyherbal dan diberi nama “Jeevni”. Setelah evaluasi klinis yang memuaskan obat herbal tersebut dirilis untuk produksi komersial.
Kemudian banyak perusahaan farmasi yang mendekati TBGRI untuk mendapatkan lisensi produksi “Jeevni”. Setelah berbagai negosiasi dengan berbagai pihak, lisensi produksi masal “Jeevni” dialihkan ke Aryavaidya Pharmacy Coimbatore Ltd selama 7 tahun. Dalam proses konsultasinya, TBGRI sepakat dengan komunitas suku Kani untuk membagi licence fee dan royaltinya sebesar 50%.
Organisasi Industri
Keterlibatan organisasi-organisasi industri juga perlu mendapat perhatian dalam keikutsertaannya dalam implementasi CBD salah satunya adalah The Biotechnology Industry Organization (BIO), yang merupakan salah satu organisasi industri Bioteknologi, didirikan tahun 1993 melalui penggabungan 2 buah organisasi yaitu Association of Biotechnology Companies dan the Industrial Biotechnology Association. Anggotanya terdiri dari sektor-sektor yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan inovasi produk-produk bioteknologi kesehatan, agrikultur, industri dan lingkungan.
The Biotechnology Industry Organization sejak tahun 2005 telah menyusun sebuah petunjuk teknis terkait bioprospeksi yang memberikan arahan bagi para anggotanya dalam kegiatan-kegiatan bioprospeksi. BIO juga telah mempunyai model Material Transfer Agreements, yang diacu oleh seluruh anggotanya.
Isu Strategis Implementasi ABS bagi Industri Bioteknologi
Implementasi CBD di bidang industri bioteknologi saat ini belum sepenuhnya dapat terlaksana, diperlukan instrumetasi yang dapat mendukungnya terutama ditingkal lokal (negara), diantaranya adalah aturan akses sumber daya disetiap negara. Beberapa negara seperti Jepang telah pula mempunyai Guidelines on Access to Genetic Resources for Users in Japan. Dokumen ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 1 April 2005 dalam bahasa Jepang, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kemudian disebarluaskan pada bulan Pebruari 2006. Dokumen dalam versi English berisi 28 halaman lengkap memuat segala aturan yang diperlukan untuk akses sumber daya genetik untuk pengguna di Jepang. Sebagai pengantar, di dalam dokumen dijelaskan kronologi dibuatnya aturan ini sebagai inplementasi CBD yaitu didasari adanya Bonn Giudelines diadopsi pada COP6 pada bulan Pebruari 2002. Pada bulan September 2002 Bonn Guidelines tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Pada tahun 2003-2004 Bonn Guidelines didesiminasikan di Jepang melalui seminar dan internasional simposium. Secara paralel Bonn Guidelines diproposikan oleh Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) yang kemudian membahas secara rtinci dengan Japan Bioindustry Association (JBA). Pada tahun 2005 Guidelines Access to Genetic Resources for Users in Japan telah selesai dibuat pada bulan Maret dan dipublikasi pada tanggal 1 April 2005 dalam versi Bahasa Jepang. Pada bulan Pebruari 2006 versi bahasa Inggris disebarluaskan.
Salah satu hal penting yang berkaitan erat dengan akses sumber daya genetik adalah manakala biodiversitas negara asal akan dimanfaatkan oleh pihak lain. Perjanjian antara kedua belah pihak harus jelas sehubungan dengan pemanfaatan bahan genetik yang akan dikirimkan. Dokumen penting yang diperlukan tersebut disebut dengan Material Transfer Agreement (MTA). MTA sering didefinisikan sebagai suatu terminologi umum untuk suatu dokumen pengiriman yang sangat singkat dan sederhana, merupakan catatan pengiriman suatu bahan yang sudah baku, atau suatu catatan resmi berisikan persyaratan minimum yang harus dibuat atau dapat merupakan dokumen yang rinci tentang persetujuan pengiriman dan penggunaan bahan yang telah disetujui bersama.
Di dalam MTA biasanya tercantum jenis dan jumlah bahan genetik yang ditransfer, waktu terjadinya pengiriman, ijin penggunaan bahan genetik yang dikirimkan (misalnya untuk keperluan riset, komersial, dan lain-lain) dan pernyataan apabila bahan tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain. Bonn Guidelines merupakan bahan acuan yang telah dibakukan. Hal-hal lain yang berhubungan dengan pengelolaan dan kepentingan bersama atas bahan yang dikirimkan dapat dituliskan pula dalam perjanjian tersebut. Seharusnya tidak terjadi hal-hal yang dpat dinegosiasikan di luar MTA. Artinya bahwa segala sesuatu yang harus dipatuhi oleh negara asal sumber genetik dan negara penerima semuanya harus tertulis pada MTA.
Bioteknologi merupakan suatu proses yang relatif panjang, seringkali memerlukan waktu bertahun-tahun dan biaya riset pengembangan yang sangat mahal sampai menghasilkan produk yang dapat dikomersialisasi, dalam perjalanan proses tersebut juga selain sumberdaya asli juga melibatkan banyak orang, organisasi dan bahan-bahan lain selain sumberdaya aslinya, sehingga perumusan ABS-nya menjadi rumit.
Penutup
Saat ini implementasi ABS di sektor industri lebih banyak terjadi karena reaksi pihak yang merasa dirugikan atau kebijakan pengembang (perusahaan) yang sifatnya lebih “voluntary”. Tersedianya aturan lokal (negara) mengenai hak akses terhadap sumber daya terutama sumberdaya genetik merupakan syarat utama legalisasi implementasi ABS di sektor industri bioteknologi, meskipun demikian dari berbagai kasus yang terjadi, pendekatan terhadap hak ABS dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui mekanisme penyusunan MTA, dan yang lebih penting lagi adalah pendokumentasian sumberdaya tersebut ditingkat lokal.
Daftar Pustaka
Amar, A., Malik, A., Prasetya, B., Chasanah, E., Irianto, H.E., Loedin, I,S., Mulya, K., Lisdiyanti, P., Setyahadi, S., Soeharsono, dan T.E. Ermayanti. 2007. Strategi Pengembangan Bioteknologi di Indonesia. Konsorsium Bioteknologi Indonesia dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta, 118 hal.
Artuso, A. 2002. Bioprospecting, Benefit Sharing, and Biotechnological Capacity Building. World Development Vol. 30, No. 8, pp. 1355-1368.
Barizah, N.2009. Kebijakan Di Tingkat Nasional Dan Internasional Upaya Perlindungan HKI Yang Terkait Dengan Pendayagunaan Sumber Daya Genetik Dan Pengetahuan. Media HKI Vol.VI/No.3/Juni 2009.
Bonn Guidelines on Accesss to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefit Arising out of their Utilization. UNEP/CBD/COP/6/6.
Bridge, G., McManus, P. And T. Marsden. 2003. The next new thing? Biotechnology and its discontents. Guest Editorial/Geoforum 34 (2003) 165-174.
Chambers, W.B, Greena, J, and A. Kambu. 2004. Trade, biotechnology and sustainable development: a report on the Southeast Asia Workshop for policymakers. Global Environmental Change 14 (2004) 185-188.
Finston, S.K. 2009. Public/Private Partnership for Development of Golden Rice Intellectual Property (IP) & Innovation: Promoting Global Competitiveness in the Americas. INPI/OMPI/OAS Rio de Janeiro, Brasil December 16, 2009. BayhDole25 Inc.
Goenadi, D.H. & Isroi. 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan Efisiensi Agribisnis yang Berkelanjutan. Makalah Lokakarya Nasional Pendekataan Kehidupan Pedesaan dan Perkotaan dalam Upaya Membangkitkan Pertanian Progresif, UPN “Veteran” Yogyakarta, 8-9 Desember 2003.
Guidelines for BIO Members Engaging in Bioprospecting (http://www.bio.org/ip/international/200507guide.asp).
Guidelines on Access to Genetic Resources for Users in Japan. 2006. Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), Japan and Japan Bioindustry Association (JBA). Tokyo, Japan.
Makarim Wibisono Anggota Delegasi RI dari Kementerian Kesehatan ke COP 10 Nagoyahttp://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/03211740/selamat.datang.protokol.nagoya
Ministry of Environment & Forests Government of India. 2002. Biotechnology & Bioprospecting For Sustainable Development, India’s presentation for the Ministerial Meeting of Megabiodiversity Countries Cancun, Mexico February 16-18, 2002.
Moran, K. 1998. Mechanisms For Benefit Sharing: Nigerian Case Study for the Convention on Biological Diversity, The Healing Forest Conservancy. Washington.
Suneetha, M.S and B. Pisupati. Benefit Sharing in ABS: Options and Elaborations. United Nations University Institute of Advanced Studies. United Nations Environment Programme (UNEP). 30pp.
The International Institute for Sustainable Development (IISD), Stratos Inc. and Jorge Cabrera. 2007. ABS-Management Tool Best Practice Standard and Handbook for Implementing Genetic Resource Access and Benefit-sharing Activities. State Secretariat for Economic Affairs SECO.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap bertanya ataupun berkomentar dengan bahasa yang sopan. Saran dan kritik yang membangun kami terima.